Banyak pihak telah mengakui bahwa penyajian informasi dengan virtual reality akan lebih efektif. Terlebih mengingat teknologi ini menghadirkan interaksi yang lebih natural. Dua guru sains di San Francisco, Lizz Klammer dan Toni Setteducato pun memiliki persepsi serupa. Mereka menerapkan teknologi VR untuk menjelaskan berbagai temuan barunya di kelas. Keduanya mengakui manfaat kurikulum VR untuk pendidikan.
Klammer dan Setteducato menerapkan kurikulum VR yang diciptakan oleh Lifeliqe. Menurut mereka, memanfaatkan headset VR dapat membuat pembelajaran menjadi lebih hidup. Sebagai contoh, jika biasanya sebagian siswa merasa bosan dengan pelajaran sejarah, kini mereka akan menikmati perjalanan VR di reruntuhan kuno. Informasi pun dapat di serap dengan lebih efektif.
“Learning comes to life at the moment the VR headset is placed on the student’s head… Students will find themselves comfortably strolling through ancient ruins, peering into the animal cell or floating in space with an astronaut on the International Space Station.” Ungkap kedua guru sains di Alta Vista School ini.
Guru-guru ini mengungkapkan, pengenalan konsep-konsep baru yang sulit menjadi lebih mudah. Hal ini dikarenakan banyak hal yang sebelumnya tidak mungkin ditelusuri langsung, seperti tubuh hewan hidup dapat diamati di VR. Dengan visual yang imersif, pendekatan baru yang personal ini membangkitkan hubungan emosional dengan konten. Passion siswa meningkat dengan adanya keterlibatan siswa dan kontrol terhadap materi pembelajaran yang ditelusuri. VR disebutkan mampu meningkatkan kepercayaan diri siswa dalam hal kemampuan belajar.
Kurikulum VR dengan aplikasi Lifeliqe dijalankan oleh siswa menggunakan HTC Vive. Lifeliqe VR Museum saat ini tersedia gratis di Steam.